Mona Afifah


GENERASI MUDA, MASA DEPAN INDONESIA


Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Namun, perkembangan Indonesia masih kalah dengan negara-negara yang lebih lambat mendapatkan kemerdekaannya. Kenapa? Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, kebudayaan serta bahasa yang bermacam-macam, terdiri dari banyak kepulauan, dan sumber daya manusia yang sangat banyak. Lantas, mengapa Indonesia masih kalah dengan negara-negara lain yang padahal kekayaan alam dan budayanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Indonesia. Faktor utamanya adalah bergantung pada sumber daya manusianya. Dan sumber daya manusia yang paling berpengaruh pada kemajuan suatu bangsa adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa tersebut.


            Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda agar dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik? Banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai generasi pnerus bangsa. Bukan hanya dengan menjadi seorang politikus handal yang nantinya akan memimpin Indonesia, namun kita dapat melakukannya sesuai dengan profesi yang kita jalani. Baik sebagai dokter, guru, pedagang, petani, dan lain-lain.



            Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah menjunjung tinggi nasionalisme. Apa itu nasionalisme? Apakah kita harus memakai batik setiap hari? Apakah kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar setiap kita berbicara? Jawabannya TIDAK.  Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Menurut Soekarno, pengertian nasionalisme adalah sebuah pilar kekuatan bangsa-bangsa terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya. Nasionalisme bukanlah suatu pengertian yang sempit bahkan mungkin masih lebih kaya lagi pada zaman ini. Ciri-ciri nasionalisme dapat ditangkap dalam beberapa definisi nasionalisme sebagai berikut :
1.      Nasionalisme ialah cinta pada tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama.
2.      Nasionalisme ialah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
3.      Nasionalisme ialah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.
4.      Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.

Jadi, dalam hal menjunjung tinggi nasionalisme, yang harus kita lakukan adalah mencintai negeri kita dari segala aspek dengan sepenuh hati, sehingga akan timbul dalam diri kita keinginan untuk menjadikan negeri kita yang tercinta ini menjadi negeri yang maju dan tidak terjajah.


            Kedua, adalah bagaimana kita bisa menjadikan Indonesia unggul di mata internasional dan bahkan dapat menguasai dunia. Caranya adalah dengan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kekayaan dari berbagai aspek yang kita miliki dan dengan mengatasi masalah-masalah yang ada pada bangsa Indonesia dengan tuntas, sehingga dunia akan memandang Indonesia bukan dari kelemahannya, tetapi dari kelebihan yang melimpah yang dimiliki oleh Indonesia.


            Ketiga, meritokrasi. Meritokrasi adalah suatu pernyataan yang mengacu pada kemampuan skill dan fairness. Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidakadilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin. Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap dipakai menentang birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme.


            Keempat, regulasi. Regulasi adalah "mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan." Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya: pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial (misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Indonesia sangat lemah dalam regulasi, termasuk regulasi yang menyangkut hak rakyat seperti di bidang pertanahan. Kelemahan itu mengakibatkan mayoritas penduduk yang umumnya petani tidak bisa menguasai tanah. 



            Kelima, pendidikan dan inovasi.  Saat ini, 49% tenaga kerja Indonesia rata-rata hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, sedangkan yang berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) hanya 9%. Sementara itu, tingkat pendidikan pekerja Malaysia yang berpendidikan SD ke bawah hanya 25% dan yang berpendidikan tinggi 18%. Kenyataan itu seharusnya membuka mata hati para penyelenggara Negara dan penyelenggara dunia pendidikan. Kita harus mengevaluasi secara total sistem pendidikan di negeri ini, mulai dari infrastruktur, sarana prasarana, mutu, kurikulum, dan tenaga pengajar. Pemerintah harus mencari kelemahan penyerapan dan distribusi alokasi anggaran pendidikan yang menyedot 20% APBN. Hingga kini, Indonesia baru memiliki doktor di bidang sains dan teknologi kurang dari 1.000 orang. Padahal, kehadiran para ahli sains dan teknologi sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Kita harus mengakui Indonesia tergolong terlambat mencetak doctor dibandingkan negara lain. Yang lebih menyedihkan, banyak doctor asal Indonesia yang enggan kembali ke Tanah Air dan memilih mengabdi di luar negeri. Hal ini jauh berbeda dengan Malaysia. Untuk memajukan negara, saat menjabat perdana menteri Malaysia, pada 1995, Mahathir Mohamed melancarkan program menarik 5.000 ahli per tahun untuk pulang ke kampung halaman. Indonesia juga lemah dalam hal inovasi. Hingga 2009, Indonesia baru mencatatkan enam paten dan menempati posisi terbawah di antara kelompok 20 negara (G20). Oleh karena itu, sebagai generasi muda kia harus meningkatkan kualitas pendidikan kita dimulai dari diri kita sendiri, dan berusaha untuk menciptkan inovasi-inovasi yang dapat mengubah pandangan dunia terhadap Indonesia.


            Yang terakhir, adalah Indonesia harus memiliki sosok pemimpin yang berkompeten, yang memiliki pendidikan dan inovasi, dan dapat membawa Indonesia menjadi negara unggul di mata dunia.







Label: 0 komentar | edit post
Mona Afifah


BIOGRAFI DINO PATTI DJALAL 

 
















Dino Patti Djalal adalah salah satu yang ikut dalam konvensi partai Demokrat untuk menjadi calon presiden. Dino Patti Djalal sudah tidak asing dengan kepresidenan, karena beliau dulunya adalah seorang Juru Bicara Presiden untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak Oktober 2004, dan diperpanjang ketika SBY terpilih kembali oleh tanah longsor untuk masa jabatan kedua tahun 2009, yang membuat Dino Patti Djalal menjadi juru bicara Presiden terpanjang dalam sejarah modern Indonesia.


Dino Patti Dajjal lahir di Beograd, Yugoslavia, 10 September 1965 dari pasangan Hasyim Djalal (ayah) dan Jurni (ibu) yang berasal dari Agam, Sumatera Barat. Hasyim Djalal, ayahanda Dino Patti Djalal adalah seorang diplomat hebat yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada dan Jerman, dan pakar internasional tentang hukum laut. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tidak dipungkiri, Hasyim Djalal berperan besar dalam menjadikan anaknya menjadi diplomat handal seperti dirinya. Dino Patti Djalal menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat sejak dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Agustus 2010. Namun, menjelang Pemilu 2014 yang sebentar lagi akan diadakan, beliau mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari jabatan Dubes, dan memilih fokus untuk
mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat.


Dino Patti Djalal mengenyam pendidikannya di SD Muhammadiyah dan SMP Al-Azhar. Pada saat berumur 15 tahun, beliau lulus dari McLean High School, Virginia, Amerika Serikat, pada tahun 1987. Lalu, beliau memperoleh gelar Bachelor’s Degree in Political Science dari Carleton University, Ottawa, Kanada, dan gelar Master in Political Science dari Simon Fraser University, British Columbia, Kanada, hingga kemudian meraih gelar Doktor bidang Hubungan Internasional di London School of Economics and Political Science setelah menyelesaikan dan mempertahankan tesis mengenai diplomasi preventif di bawah pengawasan para ulama terkemuka di Asia Tenggara almarhum Profesor Michael Leifer.



Pada tahun 2004, Dino Patti Djalal menikah dengan Rosa Raj Djalal, yang saat ini berprofesi sebagai dokter gigi. Dari hasil pernikahannya dengan Rosa, beliau dikaruniai tiga orang anak dengan nama Alexa, Keanu, dan Chloe. Dino Patti Djalal adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Saudara laki-lakinya, Iwan Djalal, saat ini bekerja sebagai eksekutif perusahaan swasta. Sedangkan saudara perempuannya, Dini Djalal, bekerja sebagai wartawan di Amerika Serikat.


Dino Patti Djalal memulai karirnya pada tahun 1987 ketika masuk Departemen Luar Negeri. Berbagai penugasan penting pernah diemban, antara lain sebagai Jubir Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur), Kepala Departemen Politik KBRI Washington dan Direktur Amerika Utara dan Tengah Departemen Luar Negeri. Beliau juga sempat menjabat sebagai Direktur Urusan Amerika Utara dan Amerika Tengah di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, sebelum akhirnya bersama Andi Mallarangeng kemudian ditunjuk sebagai juru bicara Presiden ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden Indonesia. Lalu, pada 10 Agustus 2010 beliau dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.



Beliau telah diposting ke Dili, London dan Washington DC, sebelum diangkat sebagai Direktur Urusan Amerika Utara (2002-2004). Dalam tahun-tahun awal karirnya, sebagai asisten kepada Direktur Jenderal untuk Urusan Politik Wiryono Sastrohandoyo, beliau terlibat dalam konflik Kamboja, penyelesaian konflik Moro di Filipina, Laut Cina Selatan sengketa, dan konflik Timor Timur. Dino bersama Robert Scher dari Pentagon - adalah conceptor dari "US-Indonesia Security Dialog", konsultasi bilateral tahunan pada masalah-masalah keamanan dan pertahanan sejak 2001, hingga saat ini. Dino juga conceptor Kehutanan-11 yang melibatkan negara hutan hujan tropis di Asia, Afrika dan Amerika Latin, untuk meningkatkan peran kritis mereka sebagai bagian dari karbon global terhadap perubahan iklim. Beliau juga salah satu arsitek dari Global Inter-Media Dialog, sebuah proses yang disponsori negara Indonesia dan Norwegia untuk mempromosikan kebebasan pers serta toleransi agama dan budaya. Dino juga Sherpa Indonesia untuk G-8 Outreach Summit pertemuan di Hokkaido, Jepang pada tahun 2008.


Dino Patti Djalal adalah anggota Dewan Pemerintahan Institut Perdamaian dan Demokrasi, yang didirikan oleh Forum Demokrasi Bali; seorang anggota Dewan Eksekutif Dewan Bahasa Indonesia World Affairs (ICWA); dan komisaris pada Danareksa, sebuah perusahaan investasi Pemerintah.




Pada Oktober 2009, Dino Patti Djalal menghasilkan "Luar biasa Indonesia", film pendek dan klip untuk merayakan proyek transformasi Indonesia ke dalam hidup stabil demokrasi, yang disiarkan di CNN, CNBC, Al Jazeera, BBC dan stasiun internasional lainnya. Dino Patti Djalal juga telah menulis banyak artikel untuk media massa domestik dan internasional. Beliau juga menulis 5 buku, yaitu:
"Para geopolitik maritim di Indonesia kebijakan teritorial" (Jakarta: CSIS, 1996)
"Transformasi Indonesia" (Jakarta: Gramedia, 2005)
"Indonesia pada bergerak" (Jakarta: Gramedia, 2006); kemudian diterjemahkan ke dalam "Indonesia Unggul" (Jakarta: Gramedia, 2008)
"Harus Bisa!" (Jakarta: Merah Putih, 2008)
"Energi Positif" (Jakarta: Merah Putih, 2009)

Buku keempat "Harus Bisa!" Telah menjadi best seller nasional di Indonesia - sekitar 1,7 juta kopi telah dicetak. Buku itu berisi cerita-cerita politik, anekdot, dan pelajaran kepemimpinan dari Presiden SBY, diambil dari buku harian pribadinya sebagai Juru Bicara Presiden-di Jakarta Globe menyebutnya "buku terbaik mengenai kepemimpinan di Indonesia". Ribuan komentar diposting di Facebook telah disebut buku "inspirasional".




Buku itu berubah menjadi acara televisi oleh TransTV tahun 2009. "Harus Bisa!" Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "The Can Do Kepemimpinan", dan sekarang sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Buku ini juga digunakan dalam pendidikan / pelatihan kurikulum Departemen Luar Negeri, militer Indonesia (TNI) dan polisi nasional. Pada tahun 2008, dalam peringatan Centennial Indonesia, buku itu dikirim ke perpustakaan Sekolah Tinggi, Pesantren, Perguruan Tinggi dan Universitas di seluruh Indonesia.


















Label: 0 komentar | edit post